Pada zaman dahulu kala dikisahkan hiduplah tiga bersaudara yaitu dengan nama Ki Bono, Ki Joyo dan adik Putrinya yang bernama Putri Cangkir. Ki Bono yang sekarang merupakan Sesepuh / Dedanyang Dukuh Gingsir adalah salah satu punggawa dari Kadipaten Lasem. Ki Bono adalah seorang yang berilmu tinggi, baik dibidang agama ataupun Ilmu kesaktian. Ia bisa berubah rupa / wujud dan memecah diri menjadi tujuh, sehingga banyak musuh ataupun sahabat yang segan dan mengaguminya. Biarpun demikian beliau adalah sosok pribadi yang Arif dan Bijaksana. Ia memiliki tombak pusaka Payung Sentana yang sangat sakti. Ki Bono tidak akan berhenti mengembara sampai pusakanya menancap ketanah. Singkat cerita, karena ingin menyebarkan Islam Ki Bono dan kedua Saudaranya mengembara kewilayah barat bersama dengan pengawalnya yang bernama Ki Dipo.
Perjalanan yang sangat panjang dan penuh dengan rintangan akhirnya berhenti juga disebuah tepian sungai. Setelah Tombak pusaka paying sentananya tiba – tiba menancap ketanah ditepi sungai. Akhirnya ditepi sungai itulah Ki Bono dan Kedua Saudaranya menetap dan bermukim. Seiring berjalannya waktu tempat tersebut menjadi ramai dan terbentuklah sebuah desa. Desa itu kemudian diberi nama Desa Sentana. Tidak hanya Ki Bono yang berjuang untuk menyebarkan ajaran Agama islam, namun Ki Bono pun memerintahkan saudara – saudaranya untuk ikut juga menyebarkan ajaran Agama Islam diwilayah lain. Adik pertama yang bernama Ki Joyo ditugaskan menyebarkan Ajaran Agama Islam di daerah yang masih sangat sepi dan Angker nama daerah tersebut adalah Semambung. Sedangkan adik yang kedua yakni adik perempuan Ki Bono yang bernama Putri Cangkir ditugaskan untuk menyebarkan ajaran Agama Islam disepanjang hantaran sungai yang bercabang tepatnya diwilayah pertemuan hantaran sungai yang kemudian diberi nama Kalipang dalam bahasa jawa disebut Kaline Ngepang.
Ki Bono menikah dengan seorang perempuan yang benama Lasmi. Dikisahkan mereka hidup rukun dan bahagia. Untuk memenuhi kebutuhan sehari hari mereka ber cocok tanam ( bertani ). Karena Desa Sentana terletak disepanjang hantaran sungai maka tanah diwilayah tersebut sangatlah subur dan cocok dipergunakan untuk lahan bercocok tanam ( bertani ) masyarakat disana sangatlah bahagia, makmur dan gemah ripah loh jinawi. Namun pada suatu ketika kebahagiaan itupun sirna, disepanjang hantaran Sungai Sentana yang merupakan wilayah pemukiman Ki Bono dan Istri terkena musibah banjir bandang yang diakibatkan hujan yang sangat deras mengguyur wilayah tersebut . Semua rumah dan bangunan roboh dan hanyut terseret arus banjir. Kesedihan dan ketakutan melanda warga Desa Sentana. Namun dengan Kearifannya, Ki Bono membantu menenangkan warga Desa Sentana dan mengajak semua wargannya untuk berpindah kearah timur dari Desa Sentana yang merupakan wilayah dataran tinggi untuk menghindari kalau kemungkinan ada bencana banjir. Peristiwa perpindahan desa tersebut kalau dalam bahasa jawa disebut ( di geser ) atau Gingsir sejak itulah tempat pemukiman Ki Bono dan para warganya diberi nama / disebut Desa Gingsir. Didesa yang baru inilah Ki Bono dan para warga memulai kehidupan yang baru dan bangunan yang didirikan pertama kali di wilayah tersebut adalah tempat peribadahan ( Mushalla ). Didesa inilah akhirnya Ki Bono sekeluarga beserta warganya menetap. Seiring dengan berjalannya waktu akhirnya istri Ki Bono melahirkan keturunan. Ia dianugerahi empat orang anak yaitu : Jamin, Sukar, Nah dan Bagus. Dari keempat anaknya yang menurukan anak cucu di Dukuh Gingsir adalah Ki Sukar. Sedangkan anak yang lain menikah didesa lain.
Inilah sejarah singkat terbentuknya Dukuh Gingsir dan Dukuh Kalipang ( Desa Sidomulyo ). Seiring dengan berjalannya waktu pada tahun 1945 setelah Negara Kesatuan Republik Indonesia merdeka terbentuklah Desa Sidomulyo. Desa Sidomulyo Terletak diwilayah Kecamatan Kaliori Kabupaten Rembang yang terbagi menjadi 2 ( dua ) dukuhan yaitu : Dukuh Gingsir dan Dukuh Kalipang. Desa Sidomulyo terbagi menjadi 3 RW dan 9 RT. Tercatat tahun 2019 Desa Sidomulyo memiliki Jumlah Penduduk 1.665 Jiwa dengan Jumlah Kepala Keluarga sebanyak 542 KK dengan Luas Wilayah 322,068 ha.
Sebelum terbentuk Desa Sidomulyo yaitu pada masa penjajahan Belanda wilayah yang sekarang dikenal dengan sebutan Desa Sidomulyo dipimpin oleh Bapak Wardi. Pada tahun 1945 s/d 1986 setelah Indonesia merdeka dan terbentuklah Desa Sidomulyo kepala Desa dijabat oleh Bapak Sodo.
Pada tahun 1989 diadakan pemilihan Kepala Desa dan yang dipercaya untuk menjabat sebagai kepala Desa adalah Bapak Sodo dengan Sekdes / Carik Bapak Munadi (1945-1986) Kemudian Desa Sidomulyo terus berkembang dengan Kepala Desa :
Bapak Munadji dan Bapak Kiswanto sebagai Sekdes Tahun (1989-1999)
Bapak Satiman dan Bapak Kiswanto sebagai Sekdes Tahun (1999-2007)
Bapak Pasri A. Zaini dan Bapak Kiswanto sebagai Sekdes Tahun (2007-2013)
Bapak Sukari dan Bapak Kiswanto sebagai Sekdes Tahun ( 2013-2019 )
Bapak Kartomo dan Bapak Kiswanto sebagai Sekdes Tahun (2019-2020)
Bapak Kartomo dan Bapak Rusdianto sebagai Sekdes Tahun
(2020 s/d Sekarang)